Padang pasir Sahara kering kerontang. Sejauh mata memandang cuma lautan pasir tandus berbatu-batu, hanya satu-dua pohon kurma berdebu. Terik matahari membakar tubuh. Peluh yang berlelehan segera kering, lenyap menguap. Angin kering yang bertiup menambah rasa haus. Senyap. Sudah berhari-hari kafilah itu menempuh perjalanan yang meletihkan. Tapi, remaja kecil dalam rombongan kafilah tersebut tetap saja tangkas dan riang. Tak tampak rasa letih di wajahnya.
Lebih-lebih ketika kafilah dagang pimpinan Abu Thalib itu sampai di perbatasan dekat Bashra, antara Jazirah Arab dan Syam. Entah mengapa, anak kecil itu kelihatan sangat bahagia. Agaknya ada sesuatu yang menunggunya, yang bakal memantapkan martabatnya di masa depan, karena itu sangat berharga bagi masa depannya. Anak itu tiada lain adalah Muhammad (Shallallhu ‘alaihi wasallam), yang kala itu berusia 12 tahun.
Siang itu, Abu Thalib memutuskan untuk beristirahat dan berkemah di luar Bashra. Maka segenap anggota rombongan pun menambatkan tali pengikat unta dan menurunkan semua beban, baik barang dagangan maupun bekal makanan. Abu Thalib duduk di sebuah batu, bersandar di sepokok pohon kurma, ditemani si kecil Muhammad(Shallallhu ‘alaihi wasallam), kemenakannya. Belum lama mereka beristirahat meluruskan kaki, seorang laki-laki mendatangi mereka. Dari pakaiannya, tampaknya ia seorang pendeta Nasrani. Sejak tadi ia memang memperhatikan dan mengawasi kemenakan Abu Thalib tersebut.
Tanpa ditanya, pendeta tua berjenggot dan berjubah lusuh itu memperkenalkan diri, “Nama saya Buhaira, saya pengikut ajaran Isa Almasih. Apakah betul anak ini bernama Yang Terpuji?”
Abu Thalib yang ternganga keheranan, mengangguk. “Dari mana Tuan tahu namanya? Namanya Muhammad, artinya memang Yang Terpuji,” katanya keheranan.
“Bukankah ada tanda semacam cap di punggungnya?” tanya pendeta itu lagi seperti penasaran. Sekali lagi Abu Thalib mengangguk, dan sekali lagi ia tercengang.
“Bukankah dia dilahirkan dalam keadaan yatim, kemudian ibunya juga meninggal dunia?” tanya pendeta itu lagi.
“Betul,” jawab Abu Thalib kebingungan.
Akhirnya dengan tenang pendeta Buhaira berkata, “Kalau demikian halnya, jagalah dia baik-baik. Sebaiknya Tuan jangan terlalu lama berada di negeri Syam. Sebab, namanya sudah dijelaskan dalam kitab suci kaum Yahudi, Taurat. Jika mengetahui siapa kemenakanmu yang sebenarnya, mereka pasti akan menyakiti dan membunuhnya.”
Penerbit : VOA Islam
No comments:
Write komentar